KESEHATAN ANAK

Alergi: Jika Dapat Dicegah, Mengapa Tidak?

Diperkirakan setiap tahun terjadi peningkatan kasus alergi sebesar 30%. Alergi dapat muncul sedini mungkin, bahkan pada anak-anak yang orangtuanya tidak memiliki riwayat alergi. Dapatkah kita melakukan pencegahan terhadap alergi?

Oleh: Dyah Soekasto | 9 Agustus 2019

Kata alergi berasal dari bahasa Yunani ‘allol’ yang berarti suatu keadaan yang berubah. Alergi merupakan reaksi kekebalan tubuh yang menyimpang atau berlebihan. Alergi dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh, mulai dari gangguan pernapasan, kulit, hingga gangguan pencernaan. 

Alergi dapat muncul lebih dini, yakni saat si kecil masih bayi. Hal ini sebaiknya jangan dianggap enteng karena dapat berisiko terhadap tumbuh kembang anak, mengingat bahwa seorang anak memiliki masa emas pertumbuhan (golden period) di dua tahun awal kehidupannya. Selain itu, bila tak ditangani dengan baik, alergi bahkan bisa berlanjut hingga beranjak dewasa.

Mengapa timbul alergi? 

Alergi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap zat yang dianggap asing bagi tubuh. Zat pemicu alergi (disebut alergen) bisa berupa debu rumah, susu sapi, serbuk sari, makanan tertentu, atau bulu binatang. 

Sistem kekebalan tubuh kita menghasilkan zat yang dikenal sebagai antibodi. Ketika kita alergi, tubuh akan membuat antibodi yang mengidentifikasi alergen tertentu sebagai sesuatu yang membahayakan tubuh. 

Efek alergi pada setiap orang amat bervariasi. Mulai dari yang bersifat ringan, sedang, sampai yang berat (anafilaksis = reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat). Sayangnya, tidak ada kata sembuh untuk alergi. Yang dapat dilakukan adalah menghindari alergen (faktor pencetus alergi). Kalimat yang tepat adalah bersahabat dengan alergi. 

Spesialis alergi-imunologi anak dari FKUI/RSCM, Prof. Dr. dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K), menyatakan bahwa angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan. Hal ini diduga sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada dalam makanan.

Data WAO (World Allergy Organization) 2011 menunjukkan bahwa prevalensi alergi terus meningkat dengan angka 30-40% dari total populasi dunia. Data tersebut sejalan dengan data dari CDC (Center for Disease Control and Prevention) yang mencatat bahwa angka kejadian alergi meningkat tiga kali lipat sejak 1993 hingga 2006. Di Indonesia, beberapa peneliti juga memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi mencapai 30% per tahunnya.

Prof. Zakiudin menjelaskan, pencegahan alergi sedini mungkin sangat dianjurkan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan pada kehidupan anak di kemudian hari. Gejala alergi yang dapat menyebabkan gangguan pada hidung, tenggorokan, telinga, mata, saluran pernapasan, sistem pencernaan hinga kulit ini dapat memengaruhi kesehatan dan kenyamanan anak dalam beraktifitas sehari-hari.

Dampak alergi tersebut dapat memengaruhi kualitas hidup anak seperti terbatasnya aktivitas belajar, bermain, sulit kosentrasi hingga sulit tidur. Sedangkan indikator paling tepat untuk deteksi dini alergi adalah melalui riwayat keluarga, karena alergi bersifat genetik dan bahkan pada orang tua yang tidak memiliki riwayat alergi, bayi tetap memiliki risiko alergi sebesar 5-15%.

Mencegah terjadinya alergi

Ada tiga langkah dalam pencegahan terjadinya alegi yaitu: menghindari alergen, cara hidup yang baik serta pemakaian obat-obatan. 

Menghindari faktor pencetus alergi akan berhasil bila penyebab/pencetus terjadinya alergi sudah diketahui. Salah satu cara untuk mengetahui pencetus alergi adalah dengan melakukan pengamatan sehari-hari oleh orang tua. Misalnya dengan mencatat makanan/minuman apa saja yang dikonsumsi anak, sejak pagi. Lalu cermati apakah ada reaksi pada tubuh anak. Misalnya pada kulit, frekuensi buang air besar dan teksturnya (cair/padat), dan sebagainya. 

Selain melakukan observasi sendiri, cara lain adalah dengan melakukan tes alergi. Dari hasil pemeriksaan tes alergi dapat diketahui jenis alergen (zat-zat yang dapat memicu terjadinya alergi). 

Beberapa zat terutama makanan kadang-kadang tidak ada hubungan yang jelas antara hasil tes dengan gejala alergi. Hal ini disebabkan bukan karena alergi terhadap makanan itu sendiri, melainkan zat-zat hasil pemecahan/metabolisme makanan dalam tubuh. Selain tes alergi pada kulit, juga dapat dilakukan pemeriksaan kadar imunoglobulin E yang spesifik dalam darah terhadap zat-zat tertentu yang dicurigai menimbulkan alergi.

Cara hidup yang baik perlu diperhatikan pada penderita alergi yaitu cukup istirahat, olahraga teratur, disiplin dalam diet yang ditetapkan serta hidup dalam lingkungan dengan zat alergen yang minimal. Obat-obatan pencegahan hanya diberikan pada penderita alergi yang kronis/berat atau yang sering kambuh. Pemberian imunoterapi/desensitisasi (pengebalan terhadap alergen) hanya berhasil bila penderita hanya mempunyai alergi terhadap satu zat saja.

Pentingnya pencegahan secara dini

Saat ini banyak diupayakan pencegahan timbulnya gejala alergi pada anak yang lahir dari keluarga yang mempunyai bakat atopik/alergi. Pencegahan dini ini dimulai pada saat anak masih dalam kandungan. Jika ibu hamil memiliki bakat alergi, hindari faktor pencetusnya, misalnya dengan menghindari konsumsi makanan/minuman tertentu atau faktor pemicu lainnya. Sedangkan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat alergi dalam keluarganya tidak perlu melakukan diet makanan yang sering memicu timbulnya alergi. Mengingat bahwa ibu hamil tengah membutuhkan asupan makanan bergizi. 

Yang tak kalah penting dilakukan oleh ibu hamil adalah menghindari asap rokok, baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Pemberian ASI eksklusif dilaporkan dapat mencegah terjadinya alergi di kemudian hari. Tindakan pencegahan terhadap makanan yang menimbulkan alergi perlu dilakukan oleh ibu menyusui dan ini diteruskan sampai anak berusia satu hingga dua tahun. Dengan harapan bila makanan diberikan pada pada usia tersebut, sudah tidak menimbulkan alergi lagi. 

Pemberian probiotik pada kehamilan trimester terakhir dan ibu menyusui sampai usia enam bulan dilaporkan dapat mencegah kejadian dermatitis atopik pada bayinya. Selain penghindaran terhadap makanan yang hiperalergenik, perlu juga dilakukan penghindaran alergen yang berasal dari lingkungan misalnya tungau debu rumah (pembersihan berkala, hindari pemakaian karpet dan lain-lain), polusi asap rokok dan lain-lain.

Bila anak tidak mendapat ASI, dapat diberikan susu formula yang hipoalergenik atau terhidrolisis parsial.

Referensi:

  • Akib A.P.A., Munasir Z., Kurniati N.: .Buku ajar Alergi Imunologi Anak 2. Penerbit Sagung Seto, 2010.
  • Sari Pediatri, IDAI., vol. 7, no. 4, Maret 2006
  • Crump VSA. Food allergy in children. Diunduh dari www.qmseminars.co.nz/GPCME2006CDROM/. 
  • Zeiger RS. Food allergen avoidance in prevention of food allergy in infants and children. Pediatrics 2003 ;111:1662-71.
  • Prescott SL, Tang LK. The Austalasian Society of Clinical Immunology ang Allergy position statement: Summary of allergy prevention in children. MJA 2005;182(9):464-7.
  • Bischoff SC, Sellge G. Immune Mechanisms in food induced disease. Dalam : Metcalfe DD, Sampson HA, Simon RA,penyunting. Food allergy: adverse reactions to foods and food additives. Massachusetts : Blackwell Publishing, 2003.h.14-37.
Polling
Perlukah anak di imunisasi?
Silahkan Login untuk isi Polling LIHAT HASIL
Komentar
Silahkan Login untuk komentar
Artikel Selanjutnya

Anak Suka Susu Segar

Punya pertanyaan seputar Ibu dan anak? Kamu bisa bertanya pada ahlinya di sini

Kirim Pertanyaan