Efek Jangka Panjang COVID-19
Desi Hariana | 15 Juli 2021
Hingga saat ini, para ahli masih sibuk meneliti lebih detail lagi mengenai virus SARS-CoV-2 maupun penyakit COVID-19. Ternyata masih banyak yang belum kita ketahui tentang virus maupun penyakit ini. Namun demikian, para ahli telah menemukan bahwa beberapa orang yang dinyatakan sembuh dari COVID-19, mengalami efek jangka panjang yang dikenal sebagai ‘post-COVID-19 Syndrome’ atau ‘long-haul COVID-19’.
Francis Collins, MD, Direktur National Institutes of Health di Amerika Serikat memperkirakan sekitar 10% dari penyintas COVID-19 mengalami efek jangka panjang COVID-19 dengan jangka waktu yang belum diketahui.
Gejala efek jangka panjang COVID-19
Penyintas COVID-19, bahkan yang mengalami gejala ringan sekalipun, dapat mengalami efek jangka panjang COVID-19 yang dialami lebih dari empat minggu setelah dinyatakan sembuh.
Beberapa gejala yang ditemukan adalah sebagai berikut:
- kelelahan berkepanjangan
- napas pendek-pendek atau kesulitan bernapas
- batuk
- sakit pada persendian
- sakit dada
- kemampuan mengingat dan konsentrasi terganggu
- kesulitan tidur
- jantung berdetak kencang
- hilang kemampuan mencium dan merasa
- depresi atau kecemasan
- demam
- pusing ketika berdiri
- gejala memburuk setelah melakukan aktivitas fisik atau mental.
Kerusakan yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2
Ibarat peperangan, setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19, kondisi tubuh pun ‘porak poranda’ dan butuh waktu untuk merestorasinya kembali. Ada beberapa organ penting yang menjadi target kerusakan virus SARS-CoV-2, antara lain:
- Jantung. Kerusakan pada otot jantung dapat meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
- Paru. Tipe pneumonia yang terasosiasi dengan COVID-19 menyebabkan kerusakan pada alveoli (kantung udara) di paru. Efeknya adalah gangguan pernapasan yang berkepanjangan.
- Otak. Sel-sel otak yang dirusak oleh virus SARS-CoV-2 dapat menyebabkan beberapa gangguan seperti stroke, kejang, Guillain-Barre Syndrome (kelumpuhan sementara), serta meningkatkan risiko penyakit Parkinson’s dan Alzheimer’s.
Selain itu juga masih ada kemungkinan terjadinya penggumpalan darah (blood clot), atau kebocoran pada pembuluh darah. Walaupun jarang terjadi, namun beberapa penderita (terutama anak-anak), juga dapat mengalami MIS (multisystem inflammatory syndrome) atau peradangan di beberapa bagian tubuh saat terinfeksi atau setelah sembuh dari COVID-19.
Harapan pada penelitian
Saat ini, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan berbagai lembaga kesehatan lainnya masih terus melakukan penelitian untuk mengidentifikasi seberapa sering kasus efek jangka panjang COVID-19 ini terjadi, siapa yang rentan mengalami, dan mengapa bagi sebagian orang jangka waktunya relatif singkat, sedangkan sebagian lainnya bisa mengalami sakit hingga berbulan-bulan.
Penelitian ini akan membantu ahli medis dalam memahami efek jangka panjang COVID-19 dan bagaimana cara menanganinya. Namun sambil menunggu hasil verifikasi dari berbagai penelitian tersebut, satu-satunya cara untuk menghindari efek jangka panjang COVID-19 adalah tidak tertular penyakitnya. Tetap lakukan protokol kesehatan (6M) bagi masyarakat, dan penanggulangan pandemi (3T) untuk otoritas kesehatan, serta vaksinasi untuk 12 tahun ke atas (vaksinasi untuk anak yang lebih muda masih dalam proses penelitian).
‘6 M’
- Mencuci tangan
- Memakai masker
- Menjaga jarak
- Menjauhi kerumunan
- Mengurangi mobilitas
- Menghindari makan bersama
‘3T’
- Testing
- Tracing
- Treatment
Referensi: